Semenjak awal 1980-an, banyak komentator berargumen bahwa Islam sedang menderita krisis identitas, ketika ambruknya peradaban Islam di zaman modern meninggalkan perasaan teralienasi dan luka-luka yang mendalam bagi kaum muslim. Pelbagai tantangan yang menghadang bangsa-bangsa muslim—pelbagai kegagalan proyek-proyek pembangunan, rezim-rezim otoritarian yang berurat-berakar dan ketidakmampuan untuk merespons serangan Israel secara efektif—telah menyebabkan frustrasi yang mendalam dan kemarahan yang, pada gilirannya, memberi kontibusi bagi munculnya gerakan-gerakan fundamentalis, atau istilah yang lebih suka dikatakan oleh sebagian besar komentator, Islam politik. Tetapi sebagian besar komentator secara tak disangka-sangka dikejutkan oleh keganasan aksi-aksi pembunuhan massal yang baru-baru ini dilakukan di New York dan Washington. Kekejaman yang mendasar dan kerusakan moral dari serangan-serangan ini muncul sebagai guncangan (shock) bukan hanya bagi orang-orang non-muslim, tetapi juga bagi kaum muslim.
Kekerasan politik ekstrem yang kita sebut terorisme bukan sekadar penyimpangan yang tidak terkait dengan dinamika politik masyarakat tertentu. Pada umumnya, terorisme merupakan kejahatan murni dari mereka yang merasa tidak berdaya meruntuhkan kekuasaan yang dipahami sebagai sasaran kelompok tersebut. Seperti banyak kejahatan kekuasaan lainnya, terorisme juga merupakan kejahatan berdasarkan kebencian (hate crime), karena ia mengandalkan pada retorika serangan yang terpolarisasi terhadap kelompok tertentu yang dianggap sebagai iblis sampai pada titik penyangkalan atas kebajikan mora tertentu.
Untuk merekrut dan berkomunikasi secara efektif, retorika serangan ini harus memasuki dan mengeksploitasi wacana yang telah diradikalisasi dengan harapan dapat digemakan dengan frustrasi-frustrasi sosial dan politik dari masyarakat tertentu. Tetapi jika aksi-aksi ini menemukan tingkat gema tertentu, terorisme menjadi semakin akut dan keras, dan pembenaran-pembenaran ideologisnya menjadi semakin radikal.
Bertanya Mengapa
Sampai sejauh manakah serangan 11 September di A.S. merupakan gejala dari arus-arus ideologis terpendam yang semakin pervasif di dunia muslim saat ini? Jelasnya, tidak seluruh frustrasi sosial atau politik mengarah pada penggunaan kekerasan. Sementara gerakan-gerakan pembebasan nasional sering kali mengambil jalan kekerasan, serangan-serangan yang terjadi sekarang ini terpisah dari gerakan-gerakan semacam ini. Para pelaku tampaknya tidak bertindak atas kepentingan kelompok etnis atau bangsa tertentu. Mereka tidak mewakili klaim-klaim teritorial atau agenda politik tertentu, dan sama sekali tidak bertanggung jawab atas aksi-aksi mereka.
Seseorang dapat menduga-duga bahwa daftar keluhan para pelaku termasuk mencakup penganiayaan Israel atas orang-orang Palestina yang terus-menerus, pengeboman Irak yang terjadi hampir setiap hari dan kehadiran pasukan Amerika di Teluk. Tetapi fakta yang selalu muncul adalah serangan-serangan tersebut tidak diikuti oleh daftar tuntutan tertentu atau bahkan serangkaian tujuan tertentu yang diartikulasikan. Serangan-serangan tersebut menunjukkan rasa frustrasi yang mendalam dan keputus-asaan yang ekstrem, alih-alih perjuangan untuk mencapai tujuan-tujuan yang jelas (clear-cut).
Sebagian komentator tiang-tiang penopang serangan-serangan ini sebagai bagian dari “benturan antarperadaban” antara nilai-nilai Barat dan budaya Islam. Menurut para komentator ini, persoalannya bukanlah fundamentalisme agama atau Islam politik, tetapi konflik esensial antara visi-visi moralitas dan etika yang saling bersaing. Dari perspektif ini, hampir tidak mengejutkan bahwa para teroris tidak mengajukan tuntutan-tuntutan konkret, tidak memiliki tujuan-tujuan teritorial tertentu dan tidak merasa bertanggung jawab. Serangan 11 September bertujuan untuk menghantam simbol-simbol peradaban Barat, dan untuk menantang hegemoni yang dicerapnya, dengan harapan dapat memberdayakan dan memperkuat-kembali peradaban Islam.
Pendekatan “benturan antarperadaban” mengasumsikan, dengan cara yang penuh prasangka, bahwa puritanisme dan terorisme merupakan ekspresi-ekspresi yang autentik dari nilai-nilai tradisi Islam yang dominan, dan karenanya merupakan interpretasi yang berbahaya atas momen sekarang ini. Tetapi respons-respons yang umum terhadap interpretasi ini, yang memfokuskan baik pada krisis identitas maupun frustrasi sosial yang akut di dunia muslim, tidak dapat menjelaskan secara memadai posisi-posisi teologis yang diadopsi oleh kelompok-kelompok Islamis radikal, atau bagaimana kekerasan ekstrem dapat dilegitimasi di zaman modern. Lebih jauh, tidak satu pun dari perspektif-perspektif ini melibatkan tradisi klasik dalam pemikiran Islam yang berkaitan dengan penggunaan kekerasan politik, dan bagaimana kaum muslim kontemporer merekonstruksi tradisi Islam tersebut. Bagaimana mungkin doktrin-doktrin teologi Islam klasik atau kontemporer memberi kontribusi bagi penggunaan terorisme yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam modern?
Hukum Islam Klasik dan Kekerasan Politik
Pada abad kesebelas, para pakar hukum muslim berhasil mengembangkan sebuah wacana yang canggih tentang batas-batas yang tepat untuk pelaksanaan perang, kekerasan politik dan terorisme. Alquran memerintahkan kaum muslim pada umumnya untuk melaksanakan jihad dengan berperang melawan musuh-musuh mereka. Ajaran-ajaran Alquran menyeru kaum muslim untuk berjuang di jalan Allah, menegakkan keadilan dan menahan-diri agar tidak melampauai batas-batas keadilan dalam memerangi musuh-musuh mereka.
Para pakar hukum muslim, ketika merefleksikan pelbagai lingkungan sejarah mereka dan konteksnya, cenderung membagi dunia menjadi tiga kategori konseptual: kawasan Islam, kawasan perang dan kawasan damai atau non-perang. Kategori-kategori ini bukanlah kategori-kategori yang jelas atau pasti, tetapi pada umumnya kategori-kategori ini menunjukkan kawasan-kawasan yang merupakan milik kaum muslim, kawasan-kawasan yang menjadi milik musuh dan kawasan-kawasan yang dianggap netral atau tidak bermusuhan karena satu atau lain alasan. Tetapi para pakar hukum muslim tidak bersepakat mengenai bagaimana tepatnya mendefinisikan kawasan muslim versus kawasan yang lain, utamanya ketika pelbagai divisi sektarian dalam Islam dilibatkan, dan ketika berhadapan dengan kawasan-kawasan muslim yang ditaklukkan atau kawasan-kawasan yang menjadi tempat tinggal minoritas muslim yang cukup besar.(1)
Lebih jauh, para pakar hukum muslim tidak bersepakat tentang alasan hukum untuk memerangi orang-orang non-muslim. Sebagian berpendapat bahwa orang-orang non-muslim seharusnya diperangi karena mereka adalah orang-orang kafir, sementara sebagian besar pakar hukum awal berargumen bahwa perjanjian non-agresi antara kaum muslim dan orang-orang non-muslim seharusnya dibatasi hingga masa sepuluh tahun. Akan tetapi, setelah abad kesepuluh semakin banyak para pakar hukum berargumen bhawa perjanjian-perjanjian semacam ini dapat diperbarui secara tak-terbatas, atau dapat diberlakukan secara permanen dan tak-terbatas.(2)
Yang penting, para pakar hukum muslim tidak memfokuskan pada gagasan tentang alasan yang benar untuk berperang. Selain menekankan bahwa jika kawasan muslim diserang, maka kaum muslim harus menyerang balik, para pakar hukum tersebut tampaknya menyerahkan keputusan untuk berperang atau berdamai pada otoritas-otoritas politik. Terdapat aturan hukum tertulis yang sangat banyak yang melarang para penguasa muslim untuk melanggar pelbagai perjanjian, memperturutkan hati untuk berkhianat atau menyerang musuh tanpa memberi peringatan terlebih dulu, tetapi literatur mengenai kondisi-kondisi yang membenarkan jihad sangat jarang. Ini bukan berarti bahwa para pakar hukum klasik percaya bahwa perang selalu dibenarkan atau tepat; tetapi, mereka tampaknya berasumsi bahwa keputusan untuk melaksanakan perang pada dasarnya bersifat politis. Akan tetapi, metode-metode perang merupakan pokok bahasan dari wacana yurisprudensial yang substansial.
Dengan bersandar pada larangan-larangan Nabi Muhammad, para pakar hukum muslim bersikukuh bahwa terdapat banyak pembatasan hukum atas tuntunan perang. Secara umum, tentara muslim tidak diperbolehkan membunuh kaum perempuan, anak-anak, para pertapa, orang-orang pasifis, para petani atau budak-budak kecuali mereka ikut berperang. Tanam-tanaman dan bangunan tidak boleh dihancurkan, sumber-sumber air tidak boleh diracuni, dan panah-panah api tidak boleh digunakan kecuali karena terpaksa, dan bahkan hanya untuk tingkat yang sangat terbatas. Penyiksaan, mutilasi dan pembunuhan para sandera dilarang dalam keadaan apa pun. Yang penting, para pakar hukum klasik mencapai determinasi-determinasi ini bukan hanya sebagai masalah interpretasi tekstual, tetapi sebagai penegasan-penegasan moral dan etis. Para pakar hukum klasik berbicara dari sudut pandang peradaban moral, dengan kata lain, dari perspektif yang mengungkapkan rasa keyakinan yang kuat terhadap pesan normatif Islam. Berkebalikan dengan pragmatisme mereka berkaitan dengan apakah perang seharusnya dilaksanakan, para pakar hukum klasik menerima pentingnya batasan-batasan moral atas cara perang itu dilakukan.
Kejahatan Melawan Tuhan dan Masyarakat
Para pakar hukum muslim menunjukkan toleransi yang luar biasa terhadap gagasan pemberontakan politik. Lantaran pelbagai lingkungan historis selama tiga abad pertama Islam, para pakar hukum muslim, pada prinsipnya, melarang pemberontakan apa pun, bahkan melawan para penguasa yang lalim. Pada saat yang sama, mereka menolak memberikan keleluasaan tanpa-batas kepada pemerintah melawan para pemberontak.
Para pakar hukum klasik berargumen bahwa hukum Tuhan melarang eksekusi terhadap para pemberontak atau penghancuran yang tidak perlu atau penyitaan harta milik mereka. Para pemberontak seharusnya tidak disiksa atau bahkan dipenjarakan jika mereka menerima sumpah dan berjanji untuk meninggalkan pemberontakan mereka. Yang paling penting, menurut sudut pandang mayoritas, pemberontakan, untuk tujuan yang dapat dibenarkan, bukanlah sebuah dosa atau pelanggaran moral, tetapi sekadar kesalahan politik karena kekacauan dan perang saudara yang ditimbulkannya. Pendekatan ini secara efektif menjadikan pemberontakan politik sebagai pelanggaran sipil, bukan pelanggaran agama.
Pendekatan hukum klasik terhadap terorisme sangat berbeda. Semenjak awal peradaban Islam, kaum muslim telah menderita karena teologi-teologi ekstremis yang tidak hanya menolak institusi-institusi politik dari kesultanan Islam, tetapi juga menolak memberikan legitimasi terhadap kelas yuristik. Meskipun tidak diorganisasi dalam sebuah gereja atau struktur kelembagaan yang tunggal, kelas yuristik dalam Islam memiliki lencana pentahbisan yang jelas dan distingtif. Mereka bersekolah di perguruan-perguruan tertentu, menerima pelatihan dalam metodologi penelitian yuristik tertentu, dan mengembangkan bahasa teknis khusus, yang penguasaannya merupakan pintu gerbang untuk memasuki kelas yuristik.
Secara signifikan, kelas yuristik dilibatkan sebagai pengarah dalam diskusi dan perdebatan. Pada masing-masing persoalan hukum, terdapat sepuluh opini yang berbeda dan banyak sekali perdebatan di antara pelbagai macam mazhab pemikiran hukum yang ada. Pelbagai macam gerakan teologis puritan dalam sejarah Islam dengan tegas menolak tradisi yuristik ini, yang gemar akan ketidakmenentuan (indeterminacy). Tanda yang paling jelas dari gerakan-gerakan puritan ini adalah teologi intoleran yang menunjukkan permusuhan ekstrem bukan hanya kepada orang-orang non-muslim tetapi juga kepada kaum muslim yang menjadi anggota mazhab-mazhab pemikiran yang berbeda atau bahkan tetap netral. Gerakan-gerakan ini menganggap para penentangnya dan kaum muslim acuh-tak-acuh sebagai telah meninggalkan ajaran Islam, dan karenanya merupakan sasaran-sasaran kekerasan yang legitimate. Metode-metode kekerasan yang lebih disukai kelompok-kelompok ini adalah serangan diam-diam dan penyebaran teror di tengah masyarakat umum.
Para pakar hukum muslim memberikan reaksi keras terhadap kelompok-kelompok ini, dengan menganggap mereka sebagai musuh-musuh umat manusia. Mereka disebut sebagai muhârib (secara harfiah, mereka yang memerangi masyarakat). Seorang muhârib didefinisikan sebagai seseorang yang menyerang korban-korban yang tak-dapat mempertahankan diri secara diam-diam, dan menyebarkan teror di tengah masyarakat. Mereka tidak boleh diberi ampun maupun tempat perlindungan oleh siapa pun atau di tempat manapun. Kenyataannya, para pakar hukum muslim berargumen bahwa setiap wilayah muslim atau non-muslim yang melindungi kelompok semacam ini adalah wilayah musuh yang boleh diserang oleh kekuatan-kekuatan Islam arus-utama.
Meskipun para pakar hukum klasik sepakat mengenai definisi muhârib, tetapi mereka tidak sepakat tentang tipe-tipe aksi kejahatan mana yang dapat dianggap sebagai kejahatan-kejahatan yang menimbulkan teror. Banyak para pakar hukum mengklasifikasikan pemerkosaan, perampokan bersenjata, pembunuhan, pembakaran dan membunuhan dengan menggunakan racun sebagai kejahatan-kejahatan yang menimbulkan teror. Dan mereka berargumen bahwa kejahatan-kejahatan semacam ini harus dihukum seberat-beratnya tanpa mempedulikan motivasi apa pun dari si penjahat. Yang paling penting, doktrin-doktrin ini ditegaskan sebagai imperatif-imperatif keagamaan. Tanpa mempedulikan tujuan-tujuan yang diinginkan atau pembenaran-pembenaran ideologisnya, penyebaran teror terhadap masyarakat yang tak dapat mempertahankan diri diakui sebagai kesalahan moral dan kejahatan melawan masyarakat dan Tuhan.
Kematian Tradisi Klasik
Sering kali dinyatakan bahwa terorisme merupakan senjata kaum lemah. Secara khusus, wacana yuristik klasik telah dikembangkan ketika peradaban Islam mencapai keunggulannya. Dan supremasi ini direfleksikan dalam sikap kelas yuristik yang sangat bijak. Wacana-wacana yuristik muslim pra-modern mengemudikan jalan antara pemikiran prinsipil dan kosen-konsen serta tuntutan-tuntutan pragmatis kehidupan-riil. Pada akhirnya, para pakar hukum ini berbicara dengan sense of urgency, tetapi bukan keputusasaan. Kekuasaan dan supremasi politik bukanlah tujuan mereka semata-mata.
Banyak yang telah berubah di zaman modern. Peradaban Islam telah ambruk, dan institusi-institusi tradisional yang dulu pernah menopang wacana yuristik semuanya telah lenyap. Fondasi-fondasi moral yang dulu pernah merancang hukum dan teologi Islam telah mengalami disintegrasi, dengan meninggalkan kekosongan yang tidak pasti. Lebih tegasnya, wacana-wacana yuristik tentang toleransi terhadap pemberontakan dan permusuhan hingga penggunaan teror tidak lagi menjadi bagian dari kategori-kategori normatif kaum muslim kontemporer. Wacana-wacana muslim kontemporer sekadar memberikan isapan jempol kepada doktrin-doktrin klasik tanpa ada rasa komitmen atau mengabaikan dan membuangnya doktrin-doktrin itu sama sekali.
Ada banyak faktor yang memberi kontribusi terhadap realitas modern ini. Di antara faktor-faktor yang berkaitan adalah pengalaman traumatik kolonialisme yang tak dapat disangkal, yang menghancurkan institusi-institusi tradisional masyarakat madani. Munculnya pemerintahan yang sangat sentralistik, despotik dan sering kali korup, serta nasionalisasi atas institusi-institusi pelatihan agama yang meruntuhkan peran para pakar hukum sebagai perantara dalam masyarakat muslim. Hampir seluruh anugerah keagamana yang lembut telah menjadi entitas-entitas yang dikontrol-negara, dan para pakar hukum muslim di sebagian besar negara muslim menjadi para pekerja yang digaji oleh negara, yang secara efektif mengubah mereka menjadi apa yang mungkin disebut “para pendeta pengadilan (court priests).”
Pendirian negara Israel, pengusiran orang-orang Palestina dan konflik-konflik militer yang terus-menerus di mana negara-negara Arab menderita banyak kehilangan semuanya memberi kontribusi bagi menyebarnya mentalitas paranoid dan wacana politik yang sangat terpolarisasi dan keras. Mungkin yang paling penting, simbol-simbol kebudayaan Barat, bentuk-bentuk produksi dan nilai-nilai sosial yang secara agresif mempenetrasi dunia muslim, secara serius menantang nilai-nilai dan praktik-praktik yang diwarisi, dan menambah perasaan alienasi yang semakin dalam.
Dua perkembangan utamanya menjadi relevan dengan semakin buruknya yurisprudensi Islam. Sebagian besar negara-negara muslim mengalami peminjaman konsep-konsep hukum sipil secara besar-besaran. Alih-alih menggunakan metodologi dialektis dan tak terbatas dari yurisprudensi Islam tradisional, negara-negara muslim memilih sistem hukum yang lebih sentralistik dan sering kali didasarkan pada kitab undang-undang tertentu. Bahkan kaum modernis muslim yang berusaha memperbarui yurisprudensi Islam sudah sangat terpengaruh oleh sistem hukum sipil, dan berusaha melawan cairnya hukum Islam dan meningkatkan uniter dan sentralistiknya.
Tidak hanya konsep-konsep hukumnya telah sangat terpengaruh oleh tradisi hukum Eropa, ideologi-ideologi perlawanan yang digunakan oleh kaum muslim pun sarat dengan gagasan-gagasan Dunia Ketiga tentang pembebasan nasional dan penentuan-nasib-sendiri. Sebagai contoh, pemikiran nasionalistik modern menggunakan pengaruh yang lebih besar atas ideologi-ideologi perlawanan muslim dan gerakan-gerakan pembebasan nasional Arab daripada pengaruh apa pun dalam tradisi Islam. Tradisi Islam telah direkonstruksi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ideologi-ideologi nasionalistik Dunia Ketiga tentang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme alih-alih dengan cara lain.
Sementara gerakan-gerakan pembebasan nasional—seperti perlawanan masyarakat Palestina atau Aljazair—menggunakan cara gerilya atau perang non-konvensional, terorisme di zaman modern dengan keragamannya yang dipromosikan oleh Osama bin Laden berakar dalam paradigma ideologis yang berbeda. Terdapat sedikit keraguan bahwa organisasi-organisasi semisal Jihad, al-Qaeda, Hizb al-Tahrir dan Jama’at al-Muslimin telah dipengaruhi oleh ideologi-ideologi pembebasan nasional dan anti-kolonialis, tetapi mereka telah melabuhkan dirinya dalam teologi yang dapat digambarkan sebagai puritan, supremasis dan sepenuhnya oportunistik. Teologi ini merupakan efek-samping (byproduct) dari kemunculan dan pada akhirnya dominasi Wahabisme, Salafisme dan wacana-wacana apologetik dalam Islam modern.
Islam Puritan Kontemporer
Fondasi-fondasi teologi Wahhabi diletakkan oleh penyebar agama abad kedelapan-belas Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di Semenanjung Arabia. Dengan semangat puritanik, ‘Abd al-Wahhab berusah untuk menyingkirkan korupsi-korupsi dalam Islam yang diyakininya telah memasuki agama tersebut. Wahhabisme menentang ketidakmenentuan zaman modern dengan melarikan-diri menuju literalisme yang kaku (strict literalism) di mana teks menjadi satu-satunya sumber legitimasi. Dalam konteks ini, Wahhabisme menunjukkan permusuhan yang ekstrem terhadap intelektualisme, mistisisme dan divisi-divisi sektarian dalam Islam. Ajaran Wahhabi juga menganggap setiap bentuk pemikiran moral yang tidak sepenuhnya bergantung pada teks sebagai bentuk pemujaan-diri, dan memperlakukan bidang-bidang pengetahuan humanistik, utamanya filsafat, sebagai “ilmu-ilmu iblis.”
Menurut ajaran Wahhabi, adalah kewajiban bagi setiap umat Islam untuk kembali pada Islam yang dianggap murni, sederhana dan terus-terang, yang dapat sepenuhnya diperoleh-kembali melalui implementasi harfiah atas perintah-perintah Nabi, dan dengan kepatuhan yang ketat terhadap praktik ritual yang benar. Yang penting, Wahhabisme menolak setiap upaya untuk menginterpretasikan hukum ilahi dari perspektif historis, kontekstual, dan memperlakukan sebagian besar sejarah Islam sebagai korupsi atas Islam yang sejati dan autentik.
Tradisi yurisprudiensi klasik paling-paling hanya dianggap sebagai cara berpikir yang menyesatkan (sophistry). Wahhabisme menjadi sangat tidak toleran terhadap praktik Islam yang sudah berlangsung lama dengan menganggap keragaman mazhab-mazhab pemikiran sebagai sama-sama ortodoks. Ortodoksi didefinisikan secara sempit, dan ‘Abd al-Wahhab sendiri sangat gemar menciptakan daftar panjang terdiri dari kepercayaan-kepercayaan serta tindakan-tindakan yang dianggapnya sebagai munafik, adopsi atau perbuatan yang serta-merta mengubah seorang muslim menjadi seorang kafir.
Pada akhir abad kedelapan-belas, keluarga Sa’ud bersatu dengan gerakan Wahhabi dan memberontak melawan kekuasaan Turki Utsmani di Arabia. Pasukan Mesir membatalkan pemberontakan ini pada 1818. Akan tetapi, ideologi Wahhabi dibangkitkan-kembali pada awal abad kesembilan-belas di bawah kepemimpinan ‘Abd al-‘Aziz ibn Sa’ud yang bersekutu dengan suku-suku Najd, pada permulaan dari apa yang kemudian menjadi Saudi Arabia. Pemberontakan-pemberontakan Wahhabi pada abad kesembilan-belas dan kedua-puluh adalah pemberontakan-pemberontakan yang sangat berdarah karena kaum Wahhabi tanpa pandang bulu membunuh dan meneror kaum muslim dan juga orang-orang non-muslim. Para pakar hukum arus-utama yang menulis pada waktu itu, seperti Hanafi Ibn ‘Abidin dan Maliki al-Sawi, menggambarkan kaum Wahhabi sebagai kelompok pinggir yang fanatik.3
Kekuasaan Wahhabisme
Akan tetapi, Wahhabisme tetap bertahan dan, pada kenyataannya, berkembang pesat dalam Islam kontemporer karena beberapa alasan. Dengan memperlakukan kekuasan Turki Utsmani muslim sebagai kekuatan asing yang menduduki kekuasaan, Wahhabisme menetapkan preseden yang kuat bagi gagasan-gagasan penentuan-nasib sendiri dan otonomi di Arab. Dalam mendukung upaya kembali kepada asal-usul Islam yang pristin dan murni, Wahhabisme menolak bobot kumulatif bagasi sejarah. Gagasan ini secara intuitif membebaskan bagi para pembaru muslim karena ia berarti kelahiran-kembali ijtihad, atau kembali kepada pengujian dan determinasi de novo atas persoalan-persoalan hukum yang tidak dibebani oleh penambahan pelbagai preseden dan doktrin-doktrin yang diwarisi. Yang paling penting, penemuan dan eksploitasi minyak memberikan banyak likuiditas bagi Saudi Arabia. Utamannya setelah 1975, dengan harga minyak yang melonjak tajam, Saudi Arabia secara agresif mempromosikan pemikiran Wahhabi di seluruh dunia muslim. Bahkan pengujian sepintas lalu atas gagasan-gagasan dan praktik-praktik yang dominan mengungkapkan luasnya pengaruh pemikiran Wahhabi atas dunia muslim saat ini.
Tetapi Wahhabisme tidak menyebar di dunia muslim modern di bawah benderanya sendiri. Bahkan istilah “Wahhabisme” dianggap menghina oleh para pemeluknya, karena kaum Wahhabi lebih suka memandang diri mereka sebagai wakil-wakil ortodoksi Islam. Bagi mereka, Wahhabisme bukan merupakan sebuah mazhab pemikiran dalam Islam, tetapi merupakan Islam. Fakta bahwa Wahhabisme menolak label tertentu memberinya kualitas yang memerlukan banyak penjelasan (diffuse quality), dengan menjadikan banyak doktrin dan metodologinya benar-benar dapat ditransfer. Pemikiran Wahhabi menggunakan pengaruh terbesarnya bukan di bawah benderanya sendiri, tetapi di bawah rubrik Salafisme. Dalam literatur mereka, para imam Wahhabi secara konsisten menggambarkan diri mereka sebagai kaum Salafi, dan bukan kaum Wahhabi.
Terkepung dengan Kontradiksi-kontradiksi
Salafisme merupakan sebuah ajaran yang didirikan pada akhir abad kesembilan-belas oleh para pembaru muslim seperti Muhammad ‘Abduh, al-Afghani dan Rasyid Ridha. Salafisme menyeru pada konsep yang sangat mendasar dalam Islam: kaum muslim seharusnya mengikuti teladan Nabi dan para sahabat beliau (al-salaf al-shâlih). Secara metodologis, Salafisme hampir identik dengan Wahhabisme kecuali bahwa Wahhabisme jauh lebih tidak toleran terhadap keragaman dan perbedaan pendapat. Para pendiri Salafisme mempertahankan pendapat bahwa dalam segala persoalan kaum muslim seharusnya kembali kepada Alquran dan Sunnah Nabi. Dalam melakukan hal ini, kaum muslim seharusnya menginterpretasikan-ulang sumber-sumber orisinal dalam terang kebutuhan-kebutuhan serta tuntutan-tuntutan modern, tanpa harus terikat dengan interpretasi-interpretasi dari generasi-generasi muslim sebelumnya.
Sebagaimana dipahami pada awalnya, Salafisme sama sekali tidak anti-intelektual, tetapi seperti Wahhabisme, ia cenderung tidak tertarik dengan sejarah. Dengan menekankan zaman keemasan yang pernah dialami Islam, para penganut Salafisme mengidealkan zaman Nabi dan para sahabat beliau, dan mengabaikan atau mengutuk keseimbangan sejarah Islam. Dengan menolak preseden-preseden yuristik dan meremehkan tradisi, Salafisme mengadopsi bentuk egalitarianisme yang mendekonstruksi setiap gagasan tentang otoritas yang mapan dalam Islam. Secara efektif, setiap orang dianggap qualified untuk kembali pada sumber-sumber orisinal dan berbicara atas nama kehendak ilahi.
Dengan membebaskan kaum muslim dari tradisi para pakar hukum, Salafisme memberi kontribusi terhadap kekosongan otoritas yang riil dalam Islam kontemporer. Yang penting, Salafisme didirikan oleh kelompok-kelompok nasionalis muslim yang ingin sekali menafsirkan nilai-nilai modernisme sesuai dengan sumber-sumber Islam orisinal. Oleh karena itu, Salafisme sama sekali tidak anti-Barat. Kenyataannya, para pendirinya berusaha keras untuk memproyeksikan institusi-institusi kontemporer semisal demokrasi, konstitusi-konstitusi atau sosialisme dalam teks-teks fondasional, dan berusaha menjustifikasi negara-bangsa modern dalam Islam.
Masa liberal Salafisme berakhir pada tahun 1960-an. Setelah 1975, Wahhabisme mampu membebaskan dirinya dari intoleransi ekstrem, dan berhasil mengkooptasi Salafisme hingga keduanya secara praktis menjadi tak dapat dibedakan. Kedua teologi tersebut membayangkan zaman keemasaan dalam Islam, yang memerlukan kepercayaan terhadap utopia historis yang dapat direproduksi dalam Islam kontemporer.
Keduanya tetap tidak tertarik dengan penelitian sejarah kritis dan merespons tantangan modernitas dengan melarikan-diri mencari tempat perlindungan nash yang aman. Keduanya mendukung bentuk egalitarianisme dan anti-elitisme tertentu sedemikian rupa sehingga mereka menganggap intelektualisme dan wawasan moral rasional sebagai tidak dapat diakses dan, karenanya, merupakan korupsi-korupsi atas kemurnian pesan Islam. Wahhabisme dan Salafisme terkepung dengan kontradiksi-kontradiksi yang menjadikan mereka idealistik serta pragmatis secara simultan dan merundung kedua ajaran tersebut (utamanya pada tahun 1980-an dan 1990-an) dengan sejenis pemikiran supremasis yang berlangsung hingga sekarang.
Antara Apologetika dan Supremasi
Respons intelektual yang dominan terhadap tantangan modernitas dalam Islam adalah apologetika. Apologetika terdiri dari upaya tertentu yang dilakukan oleh sejumlah komentator untuk mempertahankan sistem-sistem kepercayaan Islam dari serangan-gencar Orientalisme, Westernisasi dan modernitas dengan secara simultan menekankan kompatibilitas dan supremasi Islam. Kaum apolog merespons tantangan-tantangan intelektual yang berasal dari Barat dengan mengadopsi fiksi-fiksi kesalehan tentang tradisi Islam. Fiksi-fiksi semacam ini menjauhkan diri dari setiap evaluasi kritis atas doktrin-doktrin Islam, dan merayakan kesempurnaan Islam menurut sangkaan mereka.
Argumen yang lazim dari seorang apolog adalah bahwa setiap institusi modern yang berguna atau bermanfaat pada awalnya diciptakan oleh kaum muslim. Menurut para apolog, Islam telah membebaskan kaum perempuan, menciptakan demokrasi, mendukung pluralisme, melindungi hak-hak asasi manusia dan menjamin keamaan sosial jauh sebelum institusi-institusi ini ada di Barat. Konsep-konsep ini tidak ditegaskan di luar pemahaman kritis atau komitmen ideologis, tetapi utamanya sebagai cara untuk melawan hegemoni Barat dan meneguhkan harga-diri. Akan tetapi, efek utama dari kaum apolog adalah memberi kontribusi terhadap rasa kecukupan-diri intelektual (sense of intellectual self-sufficiency) yang sering kali merosot menjadi arogansi moral. Sejauh apologetika merupakan pembentukan-kebiasaan (habit-forming), ia menghasilkan budaya yang menghindarkan-diri dari wawasan kritik-diri dan introspektif, dan menganut proyeksi kesalahan serta tingkat kepercayaan yang mirip-fantasi.
Dalam banyak hal, respons apologetik secara fundamental dipusatkan pada kekuasaan. Tujuan utamanya bukanlah untuk mengintegrasikan nilai-nilai partikular dalam kebudayaan Islam, tetapi untuk memperkuat Islam melawan pesaing peradabannya. Apologetika muslim cenderung oportunistik dan agak tidak berprinsip, dan, dalam kenyataannya, mereka memberikan dukungan terhadap kecenderungan di kalangan banyak intelektual dan aktivis untuk memberikan hak lebih tinggi kepada logika pragmatisme di atas tuntutan-tuntutan lainnya yang saling bersaing. Memunculkan logika keniscayaan atau kepentingan publik untuk membenarkan aksi-aksi tertentu, dengan mengorbankan imperatif-imperatif moral, menjadi praktik yang lazim. Secara efektif, kaum apolog memasuki kebiasaan memberi penghormatan terhadap superioritas tradisi Islam menurut sangkaan mereka, tetapi memarjinalisasi citra idealistik ini dalam kehidupan sehari-hari.
Pasca-1970-an Salafisme mengadopsi banyak premis dari wacana apologetik, tetapi ia juga mengantarkan premis-premis ini pada ekstrem logisnya. Alih-alih apologetika yang sederhana, Salafisme merespons perasaan ketidakberdayaan dan kekalahan dengan pamer kekuasaan simbolik yang tanpa kompromi dan arogan, bukan hanya melawan orang-orang non-muslim, tetapi juga melawan kaum perempuan muslim. Secara fundamental, Salafisme, yang pada tahun 1970-an telah menjadi teologi puritan yang mematikan, semakin melabuhkan dirinya dalam keamanan teks-teks yang pasti.
Akan tetapi, berkebalikan dengan penegasan-penegasan para pendukungnya, Salafisme tidak selalu mengejar interpretasi-interpretasi yang objektif atau seimbang atas teks-teks Islam, tetapi terutama memproyeksikan frustrasi-frustrasi dan aspirasi-aspirasinya sendiri atas teks tersebut. Para pendukungnya tidak lagi mengonsentrasikan diri dengan mengkooptasi atau mengklaim institusi-institusi Barat sebagai milik mereka, tetapi mendefinisikan Islam sebagai antitesis yang pasti dari Barat, dengan kedok memperoleh-kembali Islam yang sejati dan riil. Apa pun pemahamannya tentang Barat, Islam selalu dipahami sebagai lawannya yang pasti.
Keterasingan dari Tradisi
Tentu saja, baik Wahhabisme maupun Salafisme tidak direpresentasikan oleh institusi formal tertentu. Mereka adalah orientasi-orientasi ideologis dan bukan mazhab-mazhab pemikiran yang terstruktur. Akan tetapi, pasang-surut teologi Wahhabisme dan Salafisme telah menghasilkan orientasi kontemporer yang dilabuhkan dalam perasaan-perasan yang mendalam berupa kekalahan, frustrasi dan keterasingan, bukan hanya dari institusi-institusi kekuasaan modern, tetapi juga dari warisan dan tradisi Islam sendiri.
Akibat dari apolog tersebut, warisan Wahhabi dan Salafi merupakan sebuah puritanisme supremasis yang menjadi kompensasi atas perasaan-perasaan kekalahan, ketidakberdayaan dan keterasingan dengan rasa arogansi pembenaran-diri yang khas vis-à-vis “yang lain” yang tak termasuk jenis tertentu—baik yang lain itu adalah Barat, orang-orang tidak beriman pada umumnya atau bahkan kaum muslim dari sekte yang berbeda dan kaum perempuan muslim. Dalam pengertian ini, adalah akurat menggambarkan tren modern yang tersebar-luas ini sebagai supremasis, karena ia memandang dunia dari perspektif rasa keunggulan dan polarisasi ekstrem.
Segera setelah serangan 11 September, beberapa komentator mengajukan pertanyaan tentang apakah Islam mendorong kekerasan dan terorisme. Sebagian komentator berargumen bahwa konsep Islam tentang jihad atau gagasan tentang dâr al-harb (kawasan perang) layak disalahkan atas terjadinya kekerasan kontemporer. Argumen-argumen ini bersifat anakronistik dan Orientalis. Mereka memproyeksikan kategori-kategori Barat dan pengalaman-pengalaman historis atas situasi tertentu yang sangat partikular dan sangat kompleks.
Seseorang dapat dengan mudah menempatkan wacana etis dalam tradisi Islam yang secara tanpa kompromi memushi aksi-aksi terorisme. Seseorang juga dapat menempatkan wacana yang toleran terhadap orang lain, sadar akan harkat dan martabat seluruh umat manusia. Tetapi seseorang juga harus memahami fakta bahwa puritanisme supremasis dalam Islam kontemporer menolak seluruh norma moral atau nilai-nilai etis, tanpa mempedulikan identitas asal-usul mereka atau fondasi-fondasinya. Konsen utama dan hampir tunggal yang dimilikinya adalah kekuasaan dan simbol-simbolnya. Entah bagaimana caranya, seluruh nilai lainnya dibuat tunduk.
Catatan
1 Khaled Abou El Fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse on Muslim Minorities from the Second/Eighth to Eleventh/Seventeenth Centuries,” Journal of Islamic Law and Society 22/1 (1994).
2 Khaled Abou El Fadl, “The Rules of Killing at War: An Inquiry into Classical Sources,” The Muslim World 89 (1999).
3 Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Hasyiyat Radd al-Mukhtar, jilid VI (Kairo: Mustafa al-Babi, 1966), hlm. 413; Ahmad al-Sawi, Hasyiyat al-Sawi ‘ala Tafsir al-Jalalayn, jilid III (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, tanpa tahun), hlm. 307-308. Lihat juga Ahmad Dallal, “The Origins and Objectives of Islamic Revivalist Thought, 1750-1850,” Journal of the American Oriental Society 113/3 (1993).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar